Search This Blog

Monday, March 26, 2012

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)

 
A.     Pengertian KTSP
KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) adalah kurikulum indonesia yang disusun dan di laksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.
KTSP merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/ sekolah. BSNP (badan satuan nasional pendidikan) telah membuat panduan penyusunan KTSP yang dijadikan acuan bagi satuan pendidikan SD/ MI/ SDLB, SMP/ MTs/ SMPLB, SMA/ MA/ SMALB dan SMK/ MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakn pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pada KTSP kewenangan tingkat satuan pendidikan untuk mengembangakan dan mengelola kurikulum lebih diperbesar.

B.     Landasan KTSP
1.      UU RI no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2.      PP RI no 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3.      Standar isi Peraturan Mentri Pendidikan Nasional (PERMENDIKNAS)
4.      Standar kompetensi lulusan (PERMENDIKNAS  No. 23/ 2006)
5.      Pelaksanaan SI dan SKL (PERMENDIKNAS No. 24/ 2006)


C.      Acuan Operasional KTSP
KTSP disusun dengan memperhatikan Acuan Operasional sebagai berikut:
1.      Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia
2.      Peningkatan potensi, kecerdasan dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
3.      Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
4.      Tuntutan pengembangan daerah dan nasional
5.      Tuntutan dunia kerja
6.      Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
7.      Agama
8.      Dinamika perkembangan global
9.      Persatuan nasional dan nilai kebangsaan
10.  Kondisi sosial budaya masyarakat
11.  Kesetaraan gender
12.  Karakteristik satuan pendidikan

D.     Prinsip KTSP
KTSP dikembangkan berdasarkan Prinsip-prinsip berikut:
1.      Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
2.      Beragam dan terpadu
3.      Tanggap terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4.      Relevan dengan kebutuhan hidup
5.      Menyeluruh dan berkesinambungan
6.      Belajar sepanjang hayat
7.      Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

E.      Komponen KTSP
1.      Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan
2.      Struktur dan muatan kurikulum
3.      Kalender pendidikan
4.      Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP)
KOMPONEN 1: Tujuan Pendidikan Tingakat Satuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan mengacu pada tujuan umum pendidikan, yaitu:
a.       Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, keperibadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
b.      Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
c.       Tujuan pendidikan kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
KOMPONEN 2: Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkan dari kelompok mata pelajaran yaitu:
a.       Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
b.      Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
c.       Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
d.      Kelompok mata pelajaran eksakta
e.       Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan
KOMPONEN 3: Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik ssekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam standar isi.
KOMPONEN 4: Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan silabus inilah guru dapat mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) bagi siswanya.
F.      Struktur KTSP
Secara dokumentatif, komponen KTSP dikemas dalam dua dokumen, yaitu:
1.      Dokumen I menurut acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan KTSP dan kalender pendidikan.
2.      Dokumen II menurut silabus dari SK/ KD yang dikembangkan pusat dan silabus dari SK/ KD yang dikembangkan sekolah (muatan lokal, mata pelajaran tambahan)

Secara garis besar struktur kedua dokumen KTSP tersebut terlihat sebagai berikut:
Struktur KTSP Dokumen I
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar belakang (dasar pemikiran peyusunan KTSP)
2.      Tujuan pengembangan KTSP
3.      Prinsip Pengembangan KTSP

BAB II TUJUAN PENDIDIKAN
1.      Tujuan pendidikan (disesuaikan dengan jenjang satuan pendidikan)
2.      Visi sekolah
3.      Misi sekolah
4.      Tujuan sekolah

BAB III STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM
Meliputi sub komponen:
1.      Mata pelajaran
2.      Muatan lokal
3.      Kegiatan pengembangan diri
4.      Pengaturan beban pelajaran
5.      Ketuntasan belajar
6.      Kenaikan kelas dan kelulusan
7.      Penjurusan
8.      Pendidikan kecakapan hidup
9.      Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global

BAB IV KALENDER PENDIDIKAN
Berisi tentang kalender pendidikan yang digunakan oleh sekolah, yang disusun sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam standar isi.


Struktur KTSP Dokumen II
1.      Silabus dari SK/ KD yang dikembangkan pusat
2.      Silabus dari SK/ KD yang dikembangkan sekolah (MULOK dan MAPEL tambahan)
SD/ MI
1.      Silabus pembelajaran tematik (kelas I, II dan III)
2.      Silabus mata pelajaran (kelas IV, V dan VI)
3.      Silabus muatan lokal dan MAPEL lain (jika ada)
4.      Silabus keagamaan (khusus MI)
SMP/ MTs
1.      Silabus mata pelajaran (kelas VII, VIII dan IX)
2.      Silabus muatan lokal dan MAPEL lain (jika ada)
3.      Silabus MAPEL IPA dan IPS terpadu (kelas VII, VIII dan IX)
4.      Silabus keagamaan (khusus MTs)
SMA/ MA
1.      Silabus mata pelajaran wajib
·         Kls X – 16 mapel
·         Kls XI, XII (IPA) – 13 mapel
·         Kls XI, XII (IPS) – 13 mapel
·         Kls XI, XII (bahasa) – 13 mapel
2.      Silabus MULOK
3.      Silabus keagamaan (khusus MA)
SMK
1.      Silabus mata pelajaran wajib
2.      Silabus mulok
PLB/ PENDIDIKAN KHUSUS
1.      Silabus pembelajaran tematik (kls I, II, dan III : SDLB – A, B, D, E semua kls SDLB, SMPLB dan SMALB; C, C1, D1 DAN G)
2.      Silabus mata pelajaran (kls IV, V dan VI: SDLB – A, B, D, E dan SMPLB dan SMALB: A, B, D, E
3.      Silabus muatan lokal dan mapel lain (jika ada)
4.      Silabus program khusus (untuk SDLB dan SMPLB)

G.     Pelaksanaan Penyusunan KTSP
1.      Analisis konteks
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis konteks adalah sebagai berikut:
a.       Menganalisis potensi dan kekuatan/ kelemahan yang ada di sekolah peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, biaya dan program-program yang ada disekolah
b.      Menganalisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitar: komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, asosiasi profesi, dunia industri dan dunia kerja, sumber daya alam dan sosial budaya.
c.       Mengidentifikasi standar isi dan kompetensi lulusan sebagai acuan dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan

2.      Mekanisme penyusunan
Pada mekanisme penyusunan, yang perlu diperhatikan adalah pembentukan tim penyusun dan perencanaan kegiatan.


Rujukan
Masnur Muslich, KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Bumi Aksara, Jakarta 2008, cet. 3
Sunarto, Modul KBK, PTIQ Jakarta 2009
Read more!

Wednesday, March 14, 2012

FILSAFAT AL FARABI DAN IBNU SINA

A.    PENDAHULUAN
Pemikiran, seperti juga penciptaan manusia, sama-sama melampaui perjalanan sejarah. Di mana pun ia, pemikiran merupakan cirri yang tidak bias dipisahkan dari manusia. Di manapun kakinya menjejak, pemikiran dan pemahaman senantiasa dibawanya.
Semenjak awal kemunculannya, manusia disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai permulaan alam semesta dan keberakhirannya. Pertanyaan-pertanyaan semacam: apakah alam semesta ini qadîm atau hadîts, merupakan pertanyaan yang berkecamuk dalam setiap benak anak manusia. Para sejarahwan filsafat percaya bahwa bunga rampai pemikiran paling kuno yang murni atau sebagian besarnya filosofis berasal dari Yunani. Dimulai dengan para filosuf Yunani klasik sampai pada yang modern bahkan pada masa kejayaan para filosuf Muslim masih menjadi pembahasan yang menarik. Berbagai jawaban muncul dari ragam corak pemikiran mereka. Para filosuf menganggap alam semesta ini adalah qadîm. Terciptanya keadaan dari ketiadaan adalah sesuatu yang mustahil. Tuhan hanya sang pembuat, bukan sang pencipta. Dia telah menciptakan alam semesta ini dari materi yang abadi, abadi seperti diri-Nya. Berbeda dengan para filosuf, kaum agamawan menyakini bahwa alam semesta ini adalah hadîst. Bukan hanya dibuat melainkan diciptakan. Tuhan menciptakan-Nya dari ketiadaan. Tidak ada sesuatu yang maha dahulu yang menyamai ke-mahadahuluan Tuhan. 
Namun pada kesempatan ini pemakalah akan membatasi ruang lingkup pembahasan seputar pemikiran-pemikiran filosuf Muslim yang berusaha menunjukkan bahwa pemikiran filsafat tidak mesti bertentangan dengan agama salah satunya adalah al Farabi dan Ibnu Sina.



B.     PEMBAHASAN

1.      Al Farabi (259-339 H/ 872-950 M)
a.   Biografi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870 M,  Sebutan Al-Farabi berasal dari kota dimana ia dilahirkan yaitu kota Farab, ia juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. Dia berasal dari keluarga bangsawan militer Turki. (Abdullah sidik, Islam dan Filsafat, hal. 89)
Dari Farab ia kemudian pindah ke Baghdad selama 20 tahun, belajar pada Bishr Matta Ibnu Yunus dan Juhana Ibnu Haylam. Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk kemudian ia pindah ke Aleppo untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan filsafat serta menghasilkan karya karangan ia sendiri. Selama masa tinggal di Damaskus al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun. (Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, hal. 26)

b.   Pemikiran Filsafat Al Farabi
Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles, juga antara agama dan filsafat. Al Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, bahkan keduanya sama-sama membawa pada kebenaran.

Isi-isi penting dalam falsafat al  Farabi adalah:
1)      Tuhan dan Sifat-sifatnya
Al Farabi dalam risalahnya tentang politik, menyatakan bahwa upaya pertama yang harus dilakukan seseorang ialah mengetahui adanya pencipta bagi alam dengan segala bagiannya, melalui pengamatan terhadap segala yang maujud ini dengan mempertanyakan apakah masing-masing bagian maujud ini memiliki sebab atau bukan. Melalui upaya induksi, orang akan mengetahui bahwa ada sebab bagi tiap sesuatu. Adalah mustahil, kata al Farabi, bahwa sebab-sebab itu berlanjut tanpa akhir karena apa yang tak berakhir tidak bisa diketahui (dipahami) dan sebab paling akhir dari sebab yang banyak itu adalah Yang Esa (al wahid).
Al Farabi berkata, untuk menunjukkan sifat-sifat Yang Maha Esa itu adalah juga mengamati fenomena yang ada di sekitar kita. Dari fenomena itu kita menjumpai dua kenyataan: yang utama dan yang hina. Maka yang lebih pantas untuk disadangkan kepada Yang Maha Esa itu adalah sifat yang paling utama, bahwa sebutan “yang ada (al Mawjud) lebih mulia dari sebutan “yang tidak ada (al ma’dum), maka haruslah kita katakan bahwa Ia ada. Ia lebih utama, lebih mulia daripada apa yang dibayangkan manusia dan tidaklah tersedia jalan bagi siapapun untuk mengetahui-Nya sebagaimana ada-Nya.
Tuhan bukanlah materi dan karena itu pada hakikatnya ia adalah akal actual (al ‘aql bi al fi’l); ia memikirkan (ber-ta’aqqul terhadap) diri-Nya, maka ia adalah akal, aktivitas memikir, dan yang dipikirkan sekaligus secara actual (al ‘aql wa al’aqil wa al ma’qul bi al fi’l). (Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, hal. 61-63).

2)      Falsafat Emanasi/ Pancaran
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.
Proses emanasi itu adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua (Second Intelligence).

 Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama(First Heaven).
Wujud III/Akal II            ------ Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
------ dirinya = Bintang-bintang
Wujud IV/Akal III            ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
------ dirinya=Saturnus
Wujud V/Akal IV            ------ Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
------ dirinya=Jupiter
Wujud VI/Akal V                         ------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
------ dirinya=Mars
Wujud VII/AkalVI           ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
------ dirinya=Matahari
Wujud VIII/Akal VII       ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
------ dirinya=Venus
Wujud IX/AkalVIII          ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
------ dirinya=Mercury
Wujud X/Akal IX             ------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
------ dirinyaBulan
Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.
Jadinya ada 10 akal dan 9 langit dari teori  Yunani tentang 9 langit (sphere) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam  (tidak bermulanya/ baharunya alam), al Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut al Farabi alam terjadi dengan tidak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tidak berwaktu.
Tidak jelas apa yang dimaksud al Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi al Farabi alam ini baharu. Tetapi De Boer mengartikan alam bagi al Farabi qadim (tidak bermula). Intinya adalah bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan pemancaran itu terjadi dari qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam. (Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, hal.27-29)
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari akal kesepuluh. Sebagai Aristoteles ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya:
a)      Gerak (motion) = makan, memelihara, berkembang
b)      Mengetahui (cognition) = merasa, imaginasi
c)      Berfikir (intellection) = akal praktis, akal teoritis
Daya berfikir terdiri dari tiga tingkat:
(1)   Akal Potensial (material intellect)
Akal potensial baru mempunyai potensi berfikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
(2)   Akal aktuil (actual intellect)
Akal aktuil telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi dalam bentuk aktuil.
(3)   Akal mustafad
Acquired intellect telah dapat menangkap bentuk semata-mata (pure forms). Kalau akal aktuil hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk ini berlainan dengan tidak pernah berada dalam materi untuk dapat dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada tanpa materi seperti akal yang sepuluh dan Tuhan.

3)      Falsafat Kenabian
Akal yang sepuluh itu dapat disamakan dengan malaikat dalam faham Islam. Filosof-filosof dapat mengetahui hakekat-hakekat karena dapat berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Nabi atau rasul juga dapat menerima wahyu karena mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh. Tetapi kedudukan rasul atau nabi lebih tinggi dari filosof. Rasul adalah pilihan dan komunikasi dengan akal kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri, tetapi atas pemberian Tuhan. Filosof dapat mengadakan komunikasi itu atas usaha sendiri, yaitu dengan latihan dan kontemplasi. Selanjutnya filosof dapat mengadakan kumunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal, yaitu akal mustafad (acquired intellect); sedangkan rasul atau nabi, tidak perlu sampai mencapai tingkat akal mustafad itu, karena rasul mengadakan kontak dengan akal kesepuluh bukan dengan akal, melainkan dengan daya pengetahuan yang disebut dengan imajinasi. Rasul diberi daya imajinasi yang begitu kuat sehingga dapat berhubungan dengan akal kesepuluh tanpa latihan yang harus dijalani seperti para filosof. Dengan daya imajinasi yang kuat rasul dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh pacaindera dan dari tuntutan-tuntutan badanm shingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh. Daya imajinasi yang begitu kuat diberikan Tuhan hanya kepada nabi-nabi dan rasul-rasul.
Oleh karena filosof dan nabi mendapat pengetahuan mereka dari sumber yang satu yaitu akal kesepuluh, maka pengetahuan falsafat dan wahyu yang diterima nabi tidak bisa bertentangan. Mukjizat terjadi karena hubungan dengan akal kesepuluh dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan.
Falsafat ini dimajukan al Farabi untuk menentang aliran yang tidak percaya kepada nabi atau rasul (wahyu) sebagai yang dibawa oleh ar Razi dan lain-lain di zaman itu. (Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, hal. 31)

4)      Falsafat Politik
Falsafat kenabian erat hubungannya dengan teori politik al Farabi. Uraian mengenai hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul ara’ ahl al madinah al fadilah. kota, sebagai badan manusia, mempunyai bagian-bagian yang satu dengan yang lain erat hubungannya dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan. Dalam kota (masyarakat) kepada masing-masing anggota harus diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan mmasing-masing. Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepalalah sumber dari segala peraturan dan keharnonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Ia harus sudah mempunyai akal dalam tingkat ketiga, akal mustafad yang sudah dapat berkomunikasi dengan akal kesepuluh, pengatur bumi kita ini. Sebaik-baik kepala ialah Nabi atau Rasul. Kepala yang serupa inilah yang dapat mengadakan peraturan-peraturan yang baik dan bermanfaat bagi msyarakat, sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik, dan dalamnya anggota-anggota dapat memperoleh kesenangan. Tugas kepala negara bukan hanya mengatur negara tetapi mendidik manusia mempunyai akhlak yang baik.
Manusia bersifat sosial, tidak dapat hidup tersendiri. Kesenangan manusia dapat dicapai hanya dalam hidup bermasyarkat dan semua bekerja sama untuk kepentingan bersama.
Disamping al Madinah al Fadilah ada al Madinah al Jahiliah yang anggota-anggotanya bertujuan hanya mencari kesenangan jasmani. Kemudian ada lagi al Madinah al Fasiqah yang anggotanya mempunyai pengetahuan yang sama dengan anggota Madinah Fadilah tetapi kelakuan mereka sama dengan kelakuan anggotanya madinah jahiliah.

c.    Karya-karya Al Farabi
Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya. Di antara karya tulisnya itu dapat disebutkan di sini sejumlah judul, yaitu Kitab Ara Ahl al-Madinah al Fadilah (tentang pandangan-pandangan penduduk kota utama), Kitab Ihsa al Ulum (tentang perincian pengetahuan), Risalah fi Isbat al Mufariqat (tentang wujud-wujud rohaniah), Tahsil al Sa’adah (tentang upaya mewujudkan kebahagiaan), Masa’il Falsafiyyah wa Ajwibah ‘anha (tentang masalah-masalah falsafat dan jawabannya), Al Ibanah ‘an Gard Aristutalis (tentang pemikiran Aristoteles), dan Kitab bayn Aflatun wa Aristu aw al-jam’ bayn Ra’yay al Hakimayn (tentang persesuaian pendapat Plato dengan Aristoteles).
Melalui karya-karya tulisnya itu, al Farabi memperlihatkan dirinya sebagai Muslim yang teguh memegang agama, penerus Plato dalam bidang etika dan politik, penerus Aristoteles dalam bidang logika dan fisika, dan sebagai pengikut Plotinus dalam bidang metafisika. Dari berbagai sumber itu ia memperoleh prinsip-prinsip yang diyakininya serasi sehingga ia dapat membangun satu system falsafat yang lengkap. (Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, hal. 61).

2.      Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1036 M)
a.   Biografi
Ibnu Sina yang lebih dikenal didaerah barat dengan nama Avicenna, nama lengkapnya adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Afsyana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mufasir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah, ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tuanya meninggal ia pindah ke Juzjan, sebuah kota di dekat Laut Kaspia, dan disanalah ia memulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama Al-Qanun fit-Thibb (The Canon).
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama  masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya dan masih banyak lagi penemuan-penemuan yang dilakukannya dalam bidang kedokteran.
Sedangkan dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.” 
Ibnu Sina pernah juga tinggal di kota sebelah selatan Teheran dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al Dawlah lalu kemudian Ibnu Sina diangkat menjadi mentrinya. Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas-aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan. (Dr Ahmad Daudy. MA, Kuliah Filsafat Islam, hal. 60)

b.   Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1.   Falsafat Jiwa
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Memang tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran-pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam segi fisika, ia banyak  memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat-pendapat filosof modern. (Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 125-126)
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.(Haarun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, 34-37)
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
a.    Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan- kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
b.   Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.

Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
a.    Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya - daya:
1)   Makan
2)   Tumbuh
3)   Berkembang biak
b.   Jiwa binatang dengan daya-daya :
1)      Gerak
2)      Menangkap dengan dua bagian :
a)   Menagkap dari luar dengan panca indera
b)   Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam:
·      Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
·      Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
·      Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
·      Estimasi yang dapat menangkap hal-hala abstrak yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
·      Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c.    Jiwa manusia dengan daya-daya :
1)      Praktis yang hubungannya dengan badan.
2)      Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
a)   Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b)   Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
c)   Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
d)  Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itudapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruhatas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kaliada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.

2.      Falsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung symbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi, memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.

3.      Falsafat Wujud
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
a.    Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
b.   Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin  yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud (contingen being). Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c.    Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (necessary being ) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dengan argumen ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya Tuhan menurut logika. Dalam pembagian wujud kepada wajib  dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib [38]. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih-lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama-nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.

c.    Karya Ibnu Sina
Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1.      As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan). Dalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu: Logika, Fisika, Matematika, dan Metafisika.
2.      Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3.      Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4.      Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
5.      Al-Musiqa. Buku tentang musik.
6.      Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7.      Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
8.      Danesh Nameh. Buku filsafat.
9.      Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10.  Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.
11.  Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12.  Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13.  Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.
14.  Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15.  An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
16.  Dan sebagainya. (Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, hal. 37–39)

C.    PENUTUP

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan seperti al-Ghazali. Terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.
Kemudian dilanjutkan oleh filosof berikutnya Ibnu Sina yang tidak jau berbeda denga al Farabi, bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada.
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mustahil). 
Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktualyang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannyadengan usaha dan susah payah




REFRENSI
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Islam, (Bandung; Mizzan), 2003
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta; Djambatan), 2003.
Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993
Ahmad Hanafi, MA,  PengantarFilsafat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang), 1986
Dr Ahmad Daudy. MA., Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang), 1986  
Read more!

Monday, March 26, 2012

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)

 
A.     Pengertian KTSP
KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) adalah kurikulum indonesia yang disusun dan di laksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.
KTSP merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/ sekolah. BSNP (badan satuan nasional pendidikan) telah membuat panduan penyusunan KTSP yang dijadikan acuan bagi satuan pendidikan SD/ MI/ SDLB, SMP/ MTs/ SMPLB, SMA/ MA/ SMALB dan SMK/ MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakn pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pada KTSP kewenangan tingkat satuan pendidikan untuk mengembangakan dan mengelola kurikulum lebih diperbesar.

B.     Landasan KTSP
1.      UU RI no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2.      PP RI no 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3.      Standar isi Peraturan Mentri Pendidikan Nasional (PERMENDIKNAS)
4.      Standar kompetensi lulusan (PERMENDIKNAS  No. 23/ 2006)
5.      Pelaksanaan SI dan SKL (PERMENDIKNAS No. 24/ 2006)


C.      Acuan Operasional KTSP
KTSP disusun dengan memperhatikan Acuan Operasional sebagai berikut:
1.      Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia
2.      Peningkatan potensi, kecerdasan dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
3.      Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
4.      Tuntutan pengembangan daerah dan nasional
5.      Tuntutan dunia kerja
6.      Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
7.      Agama
8.      Dinamika perkembangan global
9.      Persatuan nasional dan nilai kebangsaan
10.  Kondisi sosial budaya masyarakat
11.  Kesetaraan gender
12.  Karakteristik satuan pendidikan

D.     Prinsip KTSP
KTSP dikembangkan berdasarkan Prinsip-prinsip berikut:
1.      Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
2.      Beragam dan terpadu
3.      Tanggap terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4.      Relevan dengan kebutuhan hidup
5.      Menyeluruh dan berkesinambungan
6.      Belajar sepanjang hayat
7.      Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

E.      Komponen KTSP
1.      Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan
2.      Struktur dan muatan kurikulum
3.      Kalender pendidikan
4.      Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP)
KOMPONEN 1: Tujuan Pendidikan Tingakat Satuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan mengacu pada tujuan umum pendidikan, yaitu:
a.       Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, keperibadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
b.      Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
c.       Tujuan pendidikan kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
KOMPONEN 2: Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkan dari kelompok mata pelajaran yaitu:
a.       Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
b.      Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
c.       Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
d.      Kelompok mata pelajaran eksakta
e.       Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan
KOMPONEN 3: Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik ssekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam standar isi.
KOMPONEN 4: Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan silabus inilah guru dapat mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) bagi siswanya.
F.      Struktur KTSP
Secara dokumentatif, komponen KTSP dikemas dalam dua dokumen, yaitu:
1.      Dokumen I menurut acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan KTSP dan kalender pendidikan.
2.      Dokumen II menurut silabus dari SK/ KD yang dikembangkan pusat dan silabus dari SK/ KD yang dikembangkan sekolah (muatan lokal, mata pelajaran tambahan)

Secara garis besar struktur kedua dokumen KTSP tersebut terlihat sebagai berikut:
Struktur KTSP Dokumen I
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar belakang (dasar pemikiran peyusunan KTSP)
2.      Tujuan pengembangan KTSP
3.      Prinsip Pengembangan KTSP

BAB II TUJUAN PENDIDIKAN
1.      Tujuan pendidikan (disesuaikan dengan jenjang satuan pendidikan)
2.      Visi sekolah
3.      Misi sekolah
4.      Tujuan sekolah

BAB III STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM
Meliputi sub komponen:
1.      Mata pelajaran
2.      Muatan lokal
3.      Kegiatan pengembangan diri
4.      Pengaturan beban pelajaran
5.      Ketuntasan belajar
6.      Kenaikan kelas dan kelulusan
7.      Penjurusan
8.      Pendidikan kecakapan hidup
9.      Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global

BAB IV KALENDER PENDIDIKAN
Berisi tentang kalender pendidikan yang digunakan oleh sekolah, yang disusun sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam standar isi.


Struktur KTSP Dokumen II
1.      Silabus dari SK/ KD yang dikembangkan pusat
2.      Silabus dari SK/ KD yang dikembangkan sekolah (MULOK dan MAPEL tambahan)
SD/ MI
1.      Silabus pembelajaran tematik (kelas I, II dan III)
2.      Silabus mata pelajaran (kelas IV, V dan VI)
3.      Silabus muatan lokal dan MAPEL lain (jika ada)
4.      Silabus keagamaan (khusus MI)
SMP/ MTs
1.      Silabus mata pelajaran (kelas VII, VIII dan IX)
2.      Silabus muatan lokal dan MAPEL lain (jika ada)
3.      Silabus MAPEL IPA dan IPS terpadu (kelas VII, VIII dan IX)
4.      Silabus keagamaan (khusus MTs)
SMA/ MA
1.      Silabus mata pelajaran wajib
·         Kls X – 16 mapel
·         Kls XI, XII (IPA) – 13 mapel
·         Kls XI, XII (IPS) – 13 mapel
·         Kls XI, XII (bahasa) – 13 mapel
2.      Silabus MULOK
3.      Silabus keagamaan (khusus MA)
SMK
1.      Silabus mata pelajaran wajib
2.      Silabus mulok
PLB/ PENDIDIKAN KHUSUS
1.      Silabus pembelajaran tematik (kls I, II, dan III : SDLB – A, B, D, E semua kls SDLB, SMPLB dan SMALB; C, C1, D1 DAN G)
2.      Silabus mata pelajaran (kls IV, V dan VI: SDLB – A, B, D, E dan SMPLB dan SMALB: A, B, D, E
3.      Silabus muatan lokal dan mapel lain (jika ada)
4.      Silabus program khusus (untuk SDLB dan SMPLB)

G.     Pelaksanaan Penyusunan KTSP
1.      Analisis konteks
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis konteks adalah sebagai berikut:
a.       Menganalisis potensi dan kekuatan/ kelemahan yang ada di sekolah peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, biaya dan program-program yang ada disekolah
b.      Menganalisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitar: komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, asosiasi profesi, dunia industri dan dunia kerja, sumber daya alam dan sosial budaya.
c.       Mengidentifikasi standar isi dan kompetensi lulusan sebagai acuan dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan

2.      Mekanisme penyusunan
Pada mekanisme penyusunan, yang perlu diperhatikan adalah pembentukan tim penyusun dan perencanaan kegiatan.


Rujukan
Masnur Muslich, KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Bumi Aksara, Jakarta 2008, cet. 3
Sunarto, Modul KBK, PTIQ Jakarta 2009

Wednesday, March 14, 2012

FILSAFAT AL FARABI DAN IBNU SINA

A.    PENDAHULUAN
Pemikiran, seperti juga penciptaan manusia, sama-sama melampaui perjalanan sejarah. Di mana pun ia, pemikiran merupakan cirri yang tidak bias dipisahkan dari manusia. Di manapun kakinya menjejak, pemikiran dan pemahaman senantiasa dibawanya.
Semenjak awal kemunculannya, manusia disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai permulaan alam semesta dan keberakhirannya. Pertanyaan-pertanyaan semacam: apakah alam semesta ini qadîm atau hadîts, merupakan pertanyaan yang berkecamuk dalam setiap benak anak manusia. Para sejarahwan filsafat percaya bahwa bunga rampai pemikiran paling kuno yang murni atau sebagian besarnya filosofis berasal dari Yunani. Dimulai dengan para filosuf Yunani klasik sampai pada yang modern bahkan pada masa kejayaan para filosuf Muslim masih menjadi pembahasan yang menarik. Berbagai jawaban muncul dari ragam corak pemikiran mereka. Para filosuf menganggap alam semesta ini adalah qadîm. Terciptanya keadaan dari ketiadaan adalah sesuatu yang mustahil. Tuhan hanya sang pembuat, bukan sang pencipta. Dia telah menciptakan alam semesta ini dari materi yang abadi, abadi seperti diri-Nya. Berbeda dengan para filosuf, kaum agamawan menyakini bahwa alam semesta ini adalah hadîst. Bukan hanya dibuat melainkan diciptakan. Tuhan menciptakan-Nya dari ketiadaan. Tidak ada sesuatu yang maha dahulu yang menyamai ke-mahadahuluan Tuhan. 
Namun pada kesempatan ini pemakalah akan membatasi ruang lingkup pembahasan seputar pemikiran-pemikiran filosuf Muslim yang berusaha menunjukkan bahwa pemikiran filsafat tidak mesti bertentangan dengan agama salah satunya adalah al Farabi dan Ibnu Sina.



B.     PEMBAHASAN

1.      Al Farabi (259-339 H/ 872-950 M)
a.   Biografi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870 M,  Sebutan Al-Farabi berasal dari kota dimana ia dilahirkan yaitu kota Farab, ia juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. Dia berasal dari keluarga bangsawan militer Turki. (Abdullah sidik, Islam dan Filsafat, hal. 89)
Dari Farab ia kemudian pindah ke Baghdad selama 20 tahun, belajar pada Bishr Matta Ibnu Yunus dan Juhana Ibnu Haylam. Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk kemudian ia pindah ke Aleppo untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan filsafat serta menghasilkan karya karangan ia sendiri. Selama masa tinggal di Damaskus al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun. (Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, hal. 26)

b.   Pemikiran Filsafat Al Farabi
Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles, juga antara agama dan filsafat. Al Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, bahkan keduanya sama-sama membawa pada kebenaran.

Isi-isi penting dalam falsafat al  Farabi adalah:
1)      Tuhan dan Sifat-sifatnya
Al Farabi dalam risalahnya tentang politik, menyatakan bahwa upaya pertama yang harus dilakukan seseorang ialah mengetahui adanya pencipta bagi alam dengan segala bagiannya, melalui pengamatan terhadap segala yang maujud ini dengan mempertanyakan apakah masing-masing bagian maujud ini memiliki sebab atau bukan. Melalui upaya induksi, orang akan mengetahui bahwa ada sebab bagi tiap sesuatu. Adalah mustahil, kata al Farabi, bahwa sebab-sebab itu berlanjut tanpa akhir karena apa yang tak berakhir tidak bisa diketahui (dipahami) dan sebab paling akhir dari sebab yang banyak itu adalah Yang Esa (al wahid).
Al Farabi berkata, untuk menunjukkan sifat-sifat Yang Maha Esa itu adalah juga mengamati fenomena yang ada di sekitar kita. Dari fenomena itu kita menjumpai dua kenyataan: yang utama dan yang hina. Maka yang lebih pantas untuk disadangkan kepada Yang Maha Esa itu adalah sifat yang paling utama, bahwa sebutan “yang ada (al Mawjud) lebih mulia dari sebutan “yang tidak ada (al ma’dum), maka haruslah kita katakan bahwa Ia ada. Ia lebih utama, lebih mulia daripada apa yang dibayangkan manusia dan tidaklah tersedia jalan bagi siapapun untuk mengetahui-Nya sebagaimana ada-Nya.
Tuhan bukanlah materi dan karena itu pada hakikatnya ia adalah akal actual (al ‘aql bi al fi’l); ia memikirkan (ber-ta’aqqul terhadap) diri-Nya, maka ia adalah akal, aktivitas memikir, dan yang dipikirkan sekaligus secara actual (al ‘aql wa al’aqil wa al ma’qul bi al fi’l). (Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, hal. 61-63).

2)      Falsafat Emanasi/ Pancaran
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.
Proses emanasi itu adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua (Second Intelligence).

 Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama(First Heaven).
Wujud III/Akal II            ------ Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
------ dirinya = Bintang-bintang
Wujud IV/Akal III            ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
------ dirinya=Saturnus
Wujud V/Akal IV            ------ Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
------ dirinya=Jupiter
Wujud VI/Akal V                         ------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
------ dirinya=Mars
Wujud VII/AkalVI           ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
------ dirinya=Matahari
Wujud VIII/Akal VII       ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
------ dirinya=Venus
Wujud IX/AkalVIII          ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
------ dirinya=Mercury
Wujud X/Akal IX             ------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
------ dirinyaBulan
Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.
Jadinya ada 10 akal dan 9 langit dari teori  Yunani tentang 9 langit (sphere) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam  (tidak bermulanya/ baharunya alam), al Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut al Farabi alam terjadi dengan tidak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tidak berwaktu.
Tidak jelas apa yang dimaksud al Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi al Farabi alam ini baharu. Tetapi De Boer mengartikan alam bagi al Farabi qadim (tidak bermula). Intinya adalah bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan pemancaran itu terjadi dari qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam. (Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, hal.27-29)
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari akal kesepuluh. Sebagai Aristoteles ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya:
a)      Gerak (motion) = makan, memelihara, berkembang
b)      Mengetahui (cognition) = merasa, imaginasi
c)      Berfikir (intellection) = akal praktis, akal teoritis
Daya berfikir terdiri dari tiga tingkat:
(1)   Akal Potensial (material intellect)
Akal potensial baru mempunyai potensi berfikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
(2)   Akal aktuil (actual intellect)
Akal aktuil telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi dalam bentuk aktuil.
(3)   Akal mustafad
Acquired intellect telah dapat menangkap bentuk semata-mata (pure forms). Kalau akal aktuil hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk ini berlainan dengan tidak pernah berada dalam materi untuk dapat dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada tanpa materi seperti akal yang sepuluh dan Tuhan.

3)      Falsafat Kenabian
Akal yang sepuluh itu dapat disamakan dengan malaikat dalam faham Islam. Filosof-filosof dapat mengetahui hakekat-hakekat karena dapat berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Nabi atau rasul juga dapat menerima wahyu karena mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh. Tetapi kedudukan rasul atau nabi lebih tinggi dari filosof. Rasul adalah pilihan dan komunikasi dengan akal kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri, tetapi atas pemberian Tuhan. Filosof dapat mengadakan komunikasi itu atas usaha sendiri, yaitu dengan latihan dan kontemplasi. Selanjutnya filosof dapat mengadakan kumunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal, yaitu akal mustafad (acquired intellect); sedangkan rasul atau nabi, tidak perlu sampai mencapai tingkat akal mustafad itu, karena rasul mengadakan kontak dengan akal kesepuluh bukan dengan akal, melainkan dengan daya pengetahuan yang disebut dengan imajinasi. Rasul diberi daya imajinasi yang begitu kuat sehingga dapat berhubungan dengan akal kesepuluh tanpa latihan yang harus dijalani seperti para filosof. Dengan daya imajinasi yang kuat rasul dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh pacaindera dan dari tuntutan-tuntutan badanm shingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh. Daya imajinasi yang begitu kuat diberikan Tuhan hanya kepada nabi-nabi dan rasul-rasul.
Oleh karena filosof dan nabi mendapat pengetahuan mereka dari sumber yang satu yaitu akal kesepuluh, maka pengetahuan falsafat dan wahyu yang diterima nabi tidak bisa bertentangan. Mukjizat terjadi karena hubungan dengan akal kesepuluh dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan.
Falsafat ini dimajukan al Farabi untuk menentang aliran yang tidak percaya kepada nabi atau rasul (wahyu) sebagai yang dibawa oleh ar Razi dan lain-lain di zaman itu. (Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, hal. 31)

4)      Falsafat Politik
Falsafat kenabian erat hubungannya dengan teori politik al Farabi. Uraian mengenai hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul ara’ ahl al madinah al fadilah. kota, sebagai badan manusia, mempunyai bagian-bagian yang satu dengan yang lain erat hubungannya dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan. Dalam kota (masyarakat) kepada masing-masing anggota harus diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan mmasing-masing. Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepalalah sumber dari segala peraturan dan keharnonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Ia harus sudah mempunyai akal dalam tingkat ketiga, akal mustafad yang sudah dapat berkomunikasi dengan akal kesepuluh, pengatur bumi kita ini. Sebaik-baik kepala ialah Nabi atau Rasul. Kepala yang serupa inilah yang dapat mengadakan peraturan-peraturan yang baik dan bermanfaat bagi msyarakat, sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik, dan dalamnya anggota-anggota dapat memperoleh kesenangan. Tugas kepala negara bukan hanya mengatur negara tetapi mendidik manusia mempunyai akhlak yang baik.
Manusia bersifat sosial, tidak dapat hidup tersendiri. Kesenangan manusia dapat dicapai hanya dalam hidup bermasyarkat dan semua bekerja sama untuk kepentingan bersama.
Disamping al Madinah al Fadilah ada al Madinah al Jahiliah yang anggota-anggotanya bertujuan hanya mencari kesenangan jasmani. Kemudian ada lagi al Madinah al Fasiqah yang anggotanya mempunyai pengetahuan yang sama dengan anggota Madinah Fadilah tetapi kelakuan mereka sama dengan kelakuan anggotanya madinah jahiliah.

c.    Karya-karya Al Farabi
Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya. Di antara karya tulisnya itu dapat disebutkan di sini sejumlah judul, yaitu Kitab Ara Ahl al-Madinah al Fadilah (tentang pandangan-pandangan penduduk kota utama), Kitab Ihsa al Ulum (tentang perincian pengetahuan), Risalah fi Isbat al Mufariqat (tentang wujud-wujud rohaniah), Tahsil al Sa’adah (tentang upaya mewujudkan kebahagiaan), Masa’il Falsafiyyah wa Ajwibah ‘anha (tentang masalah-masalah falsafat dan jawabannya), Al Ibanah ‘an Gard Aristutalis (tentang pemikiran Aristoteles), dan Kitab bayn Aflatun wa Aristu aw al-jam’ bayn Ra’yay al Hakimayn (tentang persesuaian pendapat Plato dengan Aristoteles).
Melalui karya-karya tulisnya itu, al Farabi memperlihatkan dirinya sebagai Muslim yang teguh memegang agama, penerus Plato dalam bidang etika dan politik, penerus Aristoteles dalam bidang logika dan fisika, dan sebagai pengikut Plotinus dalam bidang metafisika. Dari berbagai sumber itu ia memperoleh prinsip-prinsip yang diyakininya serasi sehingga ia dapat membangun satu system falsafat yang lengkap. (Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, hal. 61).

2.      Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1036 M)
a.   Biografi
Ibnu Sina yang lebih dikenal didaerah barat dengan nama Avicenna, nama lengkapnya adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Afsyana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mufasir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah, ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tuanya meninggal ia pindah ke Juzjan, sebuah kota di dekat Laut Kaspia, dan disanalah ia memulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama Al-Qanun fit-Thibb (The Canon).
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama  masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya dan masih banyak lagi penemuan-penemuan yang dilakukannya dalam bidang kedokteran.
Sedangkan dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.” 
Ibnu Sina pernah juga tinggal di kota sebelah selatan Teheran dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al Dawlah lalu kemudian Ibnu Sina diangkat menjadi mentrinya. Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas-aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan. (Dr Ahmad Daudy. MA, Kuliah Filsafat Islam, hal. 60)

b.   Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1.   Falsafat Jiwa
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Memang tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran-pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam segi fisika, ia banyak  memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat-pendapat filosof modern. (Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 125-126)
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.(Haarun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, 34-37)
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
a.    Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan- kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
b.   Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.

Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
a.    Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya - daya:
1)   Makan
2)   Tumbuh
3)   Berkembang biak
b.   Jiwa binatang dengan daya-daya :
1)      Gerak
2)      Menangkap dengan dua bagian :
a)   Menagkap dari luar dengan panca indera
b)   Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam:
·      Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
·      Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
·      Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
·      Estimasi yang dapat menangkap hal-hala abstrak yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
·      Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c.    Jiwa manusia dengan daya-daya :
1)      Praktis yang hubungannya dengan badan.
2)      Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
a)   Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b)   Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
c)   Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
d)  Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itudapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruhatas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kaliada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.

2.      Falsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung symbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi, memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.

3.      Falsafat Wujud
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
a.    Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
b.   Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin  yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud (contingen being). Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c.    Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (necessary being ) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dengan argumen ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya Tuhan menurut logika. Dalam pembagian wujud kepada wajib  dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib [38]. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih-lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama-nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.

c.    Karya Ibnu Sina
Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1.      As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan). Dalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu: Logika, Fisika, Matematika, dan Metafisika.
2.      Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3.      Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4.      Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
5.      Al-Musiqa. Buku tentang musik.
6.      Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7.      Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
8.      Danesh Nameh. Buku filsafat.
9.      Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10.  Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.
11.  Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12.  Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13.  Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.
14.  Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15.  An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
16.  Dan sebagainya. (Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, hal. 37–39)

C.    PENUTUP

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan seperti al-Ghazali. Terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.
Kemudian dilanjutkan oleh filosof berikutnya Ibnu Sina yang tidak jau berbeda denga al Farabi, bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada.
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mustahil). 
Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktualyang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannyadengan usaha dan susah payah




REFRENSI
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Islam, (Bandung; Mizzan), 2003
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta; Djambatan), 2003.
Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993
Ahmad Hanafi, MA,  PengantarFilsafat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang), 1986
Dr Ahmad Daudy. MA., Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang), 1986  

Pages

Pages

Pages

Pages