A.
PENDAHULUAN
Pemikiran,
seperti juga penciptaan manusia, sama-sama melampaui perjalanan sejarah. Di
mana pun ia, pemikiran merupakan cirri yang tidak bias dipisahkan dari manusia.
Di manapun kakinya menjejak, pemikiran dan pemahaman senantiasa dibawanya.
Semenjak
awal kemunculannya, manusia disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental
mengenai permulaan alam semesta dan keberakhirannya. Pertanyaan-pertanyaan
semacam: apakah alam semesta ini qadîm atau hadîts, merupakan pertanyaan yang
berkecamuk dalam setiap benak anak manusia. Para sejarahwan filsafat percaya
bahwa bunga rampai pemikiran paling kuno yang murni atau sebagian besarnya
filosofis berasal dari Yunani. Dimulai dengan para filosuf Yunani
klasik sampai pada yang modern bahkan pada masa kejayaan para filosuf Muslim
masih menjadi pembahasan yang menarik. Berbagai jawaban
muncul dari ragam corak pemikiran mereka. Para filosuf menganggap alam semesta
ini adalah qadîm. Terciptanya keadaan dari ketiadaan adalah sesuatu yang
mustahil. Tuhan hanya sang pembuat, bukan sang pencipta. Dia telah menciptakan
alam semesta ini dari materi yang abadi, abadi seperti diri-Nya. Berbeda dengan
para filosuf, kaum agamawan menyakini bahwa alam semesta ini adalah hadîst.
Bukan hanya dibuat melainkan diciptakan. Tuhan menciptakan-Nya dari ketiadaan.
Tidak ada sesuatu yang maha dahulu yang menyamai ke-mahadahuluan Tuhan.
Namun pada kesempatan ini pemakalah akan
membatasi ruang lingkup pembahasan seputar pemikiran-pemikiran filosuf Muslim yang berusaha menunjukkan bahwa pemikiran filsafat
tidak mesti bertentangan dengan agama salah satunya adalah al Farabi dan Ibnu Sina.
B.
PEMBAHASAN
1. Al Farabi
(259-339 H/ 872-950 M)
a.
Biografi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh
al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun
kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870 M, Sebutan Al-Farabi berasal dari kota dimana ia
dilahirkan yaitu kota Farab, ia juga dikenal di dunia barat sebagai
Alpharabius, al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. Dia berasal dari
keluarga bangsawan militer Turki. (Abdullah sidik, Islam dan Filsafat, hal. 89)
Dari
Farab ia kemudian pindah ke Baghdad selama 20 tahun, belajar pada Bishr Matta
Ibnu Yunus dan Juhana Ibnu Haylam. Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus
karena situasi politik Bagdad yang memburuk kemudian ia pindah ke Aleppo untuk
memperdalam ilmu pengetahuan dan filsafat serta menghasilkan karya karangan ia
sendiri. Selama masa tinggal di Damaskus al-Farabi mendapat perlindungan dari
putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah. Akhirnya, pada bulan
Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan
puluh tahun. (Harun Nasution, Falsafat
& Mistisisme dalam Islam, hal. 26)
b.
Pemikiran Filsafat Al Farabi
Al-Farabi
adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan
sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam
perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Al-Farabi berusaha memadukan
beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pikiran-pikiran
plato dengan Aristoteles, juga antara agama dan filsafat. Al Farabi berkeyakinan bahwa agama
dan filsafat tidak bertentangan, bahkan keduanya sama-sama membawa pada
kebenaran.
Isi-isi
penting dalam falsafat al Farabi adalah:
1)
Tuhan dan Sifat-sifatnya
Al Farabi dalam risalahnya tentang politik,
menyatakan bahwa upaya pertama yang harus dilakukan seseorang ialah mengetahui
adanya pencipta bagi alam dengan segala bagiannya, melalui pengamatan terhadap
segala yang maujud ini dengan mempertanyakan apakah masing-masing bagian maujud
ini memiliki sebab atau bukan. Melalui upaya induksi, orang akan mengetahui
bahwa ada sebab bagi tiap sesuatu. Adalah mustahil, kata al Farabi, bahwa
sebab-sebab itu berlanjut tanpa akhir karena apa yang tak berakhir tidak bisa
diketahui (dipahami) dan sebab paling akhir dari sebab yang banyak itu adalah
Yang Esa (al wahid).
Al Farabi berkata, untuk menunjukkan sifat-sifat
Yang Maha Esa itu adalah juga mengamati fenomena yang ada di sekitar kita. Dari
fenomena itu kita menjumpai dua kenyataan: yang utama dan yang hina. Maka yang
lebih pantas untuk disadangkan kepada Yang Maha Esa itu adalah sifat yang
paling utama, bahwa sebutan “yang ada (al Mawjud) lebih mulia dari
sebutan “yang tidak ada (al ma’dum), maka haruslah kita katakan bahwa Ia
ada. Ia lebih utama, lebih mulia daripada apa yang dibayangkan manusia dan
tidaklah tersedia jalan bagi siapapun untuk mengetahui-Nya sebagaimana ada-Nya.
Tuhan bukanlah materi dan karena itu pada hakikatnya
ia adalah akal actual (al ‘aql bi al fi’l); ia memikirkan (ber-ta’aqqul
terhadap) diri-Nya, maka ia adalah akal, aktivitas memikir, dan yang
dipikirkan sekaligus secara actual (al ‘aql wa al’aqil wa al ma’qul bi al
fi’l). (Prof.
Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, hal. 61-63).
2)
Falsafat Emanasi/ Pancaran
Dengan filsafat
emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari
Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha
Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan
bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? Emanasi
seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.
Proses emanasi
itu adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran
ini timbul satu maujud lain. Tuhan
merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga
mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini
berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga,
disebut Akal Kedua (Second
Intelligence).
Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir
tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama(First Heaven).
Wujud III/Akal II ------
Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
------ dirinya =
Bintang-bintang
Wujud IV/Akal III ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
------
dirinya=Saturnus
Wujud V/Akal IV ------
Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
------
dirinya=Jupiter
Wujud VI/Akal V ------
Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
------
dirinya=Mars
Wujud VII/AkalVI ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
------
dirinya=Matahari
Wujud VIII/Akal VII ------
Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
------
dirinya=Venus
Wujud IX/AkalVIII ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
------
dirinya=Mercury
Wujud X/Akal IX ------
Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
------
dirinyaBulan
Pada pemikiran
Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal. Tetapi dari
Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi
dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.
Jadinya ada 10 akal dan 9 langit dari teori Yunani tentang 9 langit (sphere) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur
dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam
(tidak bermulanya/ baharunya alam),
al Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles
adalah kekal. Menurut al Farabi alam terjadi dengan tidak mempunyai permulaan
dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus
dengan tidak berwaktu.
Tidak jelas apa yang dimaksud al Farabi. Sebagian
penyelidik berpendapat bahwa bagi al Farabi alam ini baharu. Tetapi De Boer
mengartikan alam bagi al Farabi qadim
(tidak bermula). Intinya adalah bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud
Allah dan pemancaran itu terjadi dari qidam.
Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin
sekali bersifat qidam. (Harun
Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam
Islam, hal.27-29)
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal
memancar dari akal kesepuluh. Sebagai Aristoteles ia juga berpendapat bahwa
jiwa mempunyai daya-daya:
a)
Gerak (motion) = makan,
memelihara, berkembang
b)
Mengetahui (cognition) =
merasa, imaginasi
c)
Berfikir (intellection) = akal
praktis, akal teoritis
Daya berfikir terdiri dari tiga tingkat:
(1)
Akal Potensial (material intellect)
Akal
potensial baru mempunyai potensi berfikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau
bentuk-bentuk dari materinya.
(2)
Akal aktuil (actual intellect)
Akal
aktuil telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah
mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk
potensial, tetapi dalam bentuk aktuil.
(3)
Akal mustafad
Acquired intellect telah dapat menangkap bentuk semata-mata (pure forms). Kalau akal aktuil hanya dapat menangkap arti-arti
terlepas dari materi, akal mustafad sanggup menangkap bentuk semata-mata.
Bentuk ini berlainan dengan tidak pernah berada dalam materi untuk dapat
dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada tanpa materi seperti akal
yang sepuluh dan Tuhan.
3)
Falsafat Kenabian
Akal yang sepuluh itu dapat disamakan dengan
malaikat dalam faham Islam. Filosof-filosof dapat mengetahui hakekat-hakekat
karena dapat berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Nabi atau rasul juga dapat
menerima wahyu karena mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan
akal kesepuluh. Tetapi kedudukan rasul atau nabi lebih tinggi dari filosof.
Rasul adalah pilihan dan komunikasi dengan akal kesepuluh terjadi bukan atas
usaha sendiri, tetapi atas pemberian Tuhan. Filosof dapat mengadakan komunikasi
itu atas usaha sendiri, yaitu dengan latihan dan kontemplasi. Selanjutnya
filosof dapat mengadakan kumunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal, yaitu
akal mustafad (acquired intellect);
sedangkan rasul atau nabi, tidak perlu sampai mencapai tingkat akal mustafad
itu, karena rasul mengadakan kontak dengan akal kesepuluh bukan dengan akal,
melainkan dengan daya pengetahuan yang disebut dengan imajinasi. Rasul diberi
daya imajinasi yang begitu kuat sehingga dapat berhubungan dengan akal
kesepuluh tanpa latihan yang harus dijalani seperti para filosof. Dengan daya
imajinasi yang kuat rasul dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh
pacaindera dan dari tuntutan-tuntutan badanm shingga ia dapat memusatkan
perhatian dan mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh. Daya imajinasi yang
begitu kuat diberikan Tuhan hanya kepada nabi-nabi dan rasul-rasul.
Oleh karena filosof dan nabi mendapat pengetahuan
mereka dari sumber yang satu yaitu akal kesepuluh, maka pengetahuan falsafat
dan wahyu yang diterima nabi tidak bisa bertentangan. Mukjizat terjadi karena
hubungan dengan akal kesepuluh dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan
dengan kebiasaan.
Falsafat
ini dimajukan al Farabi untuk menentang aliran yang tidak percaya kepada nabi
atau rasul (wahyu) sebagai yang dibawa oleh ar Razi dan lain-lain di zaman itu.
(Harun Nasution, Falsafat &
Mistisisme dalam Islam, hal. 31)
4)
Falsafat Politik
Falsafat kenabian erat hubungannya dengan teori
politik al Farabi. Uraian mengenai hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul
ara’ ahl al madinah al fadilah.
kota, sebagai badan manusia,
mempunyai bagian-bagian yang satu dengan yang lain erat hubungannya dan
mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan
keseluruhan badan. Dalam kota (masyarakat) kepada masing-masing anggota harus
diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan mmasing-masing. Pekerjaan yang
terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh
manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepalalah sumber dari segala peraturan
dan keharnonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar,
cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Ia harus sudah mempunyai akal
dalam tingkat ketiga, akal mustafad yang sudah dapat berkomunikasi dengan akal
kesepuluh, pengatur bumi kita ini. Sebaik-baik kepala ialah Nabi atau Rasul.
Kepala yang serupa inilah yang dapat mengadakan peraturan-peraturan yang baik
dan bermanfaat bagi msyarakat, sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik, dan
dalamnya anggota-anggota dapat memperoleh kesenangan. Tugas kepala negara bukan
hanya mengatur negara tetapi mendidik manusia mempunyai akhlak yang baik.
Manusia bersifat sosial, tidak dapat hidup
tersendiri. Kesenangan manusia dapat dicapai hanya dalam hidup bermasyarkat dan
semua bekerja sama untuk kepentingan bersama.
Disamping al
Madinah al Fadilah ada al Madinah al
Jahiliah yang anggota-anggotanya bertujuan hanya mencari kesenangan
jasmani. Kemudian ada lagi al Madinah al
Fasiqah yang anggotanya mempunyai pengetahuan yang sama dengan anggota
Madinah Fadilah tetapi kelakuan mereka sama dengan kelakuan anggotanya madinah
jahiliah.
c.
Karya-karya Al Farabi
Selama
hidupnya al Farabi banyak berkarya. Di antara karya tulisnya itu dapat disebutkan
di sini sejumlah judul, yaitu Kitab Ara Ahl al-Madinah al Fadilah (tentang
pandangan-pandangan penduduk kota utama), Kitab Ihsa al Ulum (tentang
perincian pengetahuan), Risalah fi Isbat al Mufariqat (tentang
wujud-wujud rohaniah), Tahsil al Sa’adah (tentang upaya mewujudkan
kebahagiaan), Masa’il Falsafiyyah wa Ajwibah ‘anha (tentang
masalah-masalah falsafat dan jawabannya), Al Ibanah ‘an Gard Aristutalis (tentang
pemikiran Aristoteles), dan Kitab bayn Aflatun wa Aristu aw al-jam’ bayn
Ra’yay al Hakimayn (tentang persesuaian pendapat Plato dengan Aristoteles).
Melalui
karya-karya tulisnya itu, al Farabi memperlihatkan dirinya sebagai Muslim yang
teguh memegang agama, penerus Plato dalam bidang etika dan politik, penerus
Aristoteles dalam bidang logika dan fisika, dan sebagai pengikut Plotinus dalam
bidang metafisika. Dari berbagai sumber itu ia memperoleh prinsip-prinsip yang
diyakininya serasi sehingga ia dapat membangun satu system falsafat yang
lengkap. (Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, hal.
61).
2. Ibnu Sina
(370-428 H/ 980-1036 M)
a.
Biografi
Ibnu
Sina yang lebih dikenal didaerah barat dengan nama Avicenna, nama lengkapnya
adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di
Afsyana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada
pemerintahan Dinasti Samani. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah
kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak
mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mufasir
Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang
elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah, ia
mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles
yang murni dengan bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter
dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Sewaktu
berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana
pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya.
Setelah orang tuanya meninggal ia pindah ke Juzjan, sebuah kota di dekat Laut
Kaspia, dan disanalah ia memulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu
kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama Al-Qanun fit-Thibb (The
Canon).
Ibnu
Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana
enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang
pertama kali mengatakan bahwa bayi selama
masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya dan masih
banyak lagi penemuan-penemuan yang dilakukannya dalam bidang kedokteran.
Sedangkan
dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya,
bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang
bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang
gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger
Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam
Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles
sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi
entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat
susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja
lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga
pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan
penerangan dan keterangan yang luas.”
Ibnu
Sina pernah juga tinggal di kota sebelah selatan Teheran dan bekerja untuk Ratu
Sayyedah dan anaknya Majd al Dawlah lalu kemudian Ibnu Sina diangkat menjadi
mentrinya. Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas-aktifitas kerja keras.
Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis. Di usia 58 tahun (428 H /
1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan. (Dr Ahmad Daudy. MA, Kuliah Filsafat Islam, hal. 60)
b.
Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1.
Falsafat
Jiwa
Ibnu
Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan,
sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal
kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Memang
tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang
kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama
pikiran-pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya.
Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri
atau pikiran-pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun
segi pembahasan metafisika.
Dalam
segi fisika, ia banyak memakai metode
eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam
segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia
mendekati pendapat-pendapat filosof modern. (Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 125-126)
Pengaruh
Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir
Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada
Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke
sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan.
Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu
Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari
hakekat dirinya atau necessary by virtual
of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Dari
pemkiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai
wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai
mungkin wujudnya timbul langit-langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa
lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.(Haarun
Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam
Islam, 34-37)
Segi
- segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua
segi yaitu :
a.
Segi fisika yang
membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa
manusia). Pembahasan kebaikan- kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain dan
pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
b.
Segi metafisika,
yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan
dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina
membagi jiwa dalam tiga bagian:
a. Jiwa
tumbuh-tumbuhan dengan daya - daya:
1) Makan
2) Tumbuh
3) Berkembang biak
b.
Jiwa binatang
dengan daya-daya :
1) Gerak
2) Menangkap
dengan dua bagian :
a) Menagkap
dari luar dengan panca indera
b) Menangkap
dari dalam dengan indera-indera dalam:
· Indera
bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
· Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
· Imaginasi
yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
· Estimasi
yang dapat menangkap hal-hala abstrak yang terlepas dari materi umpamanya
keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
· Rekoleksi
yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c.
Jiwa manusia
dengan daya-daya :
1) Praktis
yang hubungannya dengan badan.
2) Teoritis
yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
a) Akal
materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih
walaupun sedikitpun.
b) Intelectual
in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
c) Akal
actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
d) Akal
mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan
tak perlu pada daya upaya.
Sifat
seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan,
binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itudapat
menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruhatas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut
Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kaliada badan, yang
sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguhpun jiwa manusia
tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada
badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih
berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa
manusia untuk dapat berfikir.
2. Falsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya
gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah
diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”,
keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat
tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah
pemikiran keagamaan.
Akal manusia
terdiri empat macam yaitu akal materil, akal
intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut
tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan
menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu
Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua
ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat
berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu
dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi
yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Jadi wahyu dalam
pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang
baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak
ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini,
dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi
menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran
yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung symbol-simbol. Namun sejauh
mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya
ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya
ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu
imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi
seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi, memang hanya nabilah
pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.
3. Falsafat Wujud
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan
yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri.
Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di
luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai
kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu
wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu
Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi
dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat
mempunyai kombinasi berikut :
a.
Essensi yang tak dapat mempunyai
wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
b.
Essensi yang boleh mempunyai
wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi
mungkin pula tidak berwujud (contingen
being). Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada
dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c.
Essensi yang tak boleh tidak
mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi
dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak
berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam
kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama -
lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (necessary being ) yaitu Tuhan. Wajib
al wujud inilah yang mewujudkan mumkin
al wujud.
Dengan argumen ini Ibnu Sina ingin membuktikan
adanya Tuhan menurut logika. Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh
oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim
(al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan -
pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap
orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana
Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan
Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah
pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain
perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib [38]. Untuk menghindari keadaan
Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan
kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan
membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara
pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para
mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang
Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina
dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat
disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi
mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi
yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib
wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak
terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang
mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak
ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat
dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna
sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah -
olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun.
Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu
Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak
ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan
tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”,
seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu
Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia
menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya
menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak
lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah
kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak
selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih-lebih
lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud”
dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan
beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub
anhu (wajib darinya). Nama-nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan
diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan
anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah)
seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah)
yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara
gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah
dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama
yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka
kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan
tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan
dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles
tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.
c.
Karya Ibnu Sina
Diantara karangan - karangan Ibnu
Sina adalah :
1. As-
Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan,
atau Buku tentang Penyembuhan). Dalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau
Sufficienta. Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu: Logika, Fisika, Matematika,
dan Metafisika.
2. Nafat,
buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3. Qanun,
buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas
Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Sadidiyya.
Buku ilmu kedokteran.
5. Al-Musiqa.
Buku tentang musik.
6. Al-Mantiq,
diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7. Qamus
el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
8. Danesh
Nameh. Buku filsafat.
9. Uyun-ul
Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10. Mujiz,
kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu
logika secara lengkap.
11. Hikmah
el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915
menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf.
Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud.
Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam
ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat
wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan
- peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah,
(buku tentang kebahagiaan Jiwa)
16. Dan
sebagainya. (Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam, hal. 37–39)
C.
PENUTUP
Dari
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang
pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan
tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam
yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam
membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu. Walaupun
pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan seperti
al-Ghazali. Terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik
untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu politik,
dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak
diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.
Kemudian
dilanjutkan oleh filosof berikutnya Ibnu Sina yang tidak jau berbeda denga al
Farabi, bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan
adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada.
Tuhan
adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan
mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mustahil).
Pemikiran
Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling
unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktualyang sempurna
tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannyadengan usaha
dan susah payah
REFRENSI
Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam
Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992
Muhammad
Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Islam, (Bandung; Mizzan), 2003
Prof.
Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta;
Djambatan), 2003.
Thawil
akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat
Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993
Ahmad
Hanafi, MA, PengantarFilsafat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang), 1986
Dr
Ahmad Daudy. MA., Kuliah Filsafat Islam,
(Jakarta, Bulan Bintang), 1986